Tinjauan Pustaka Pembenihan Udang Vannamei
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Udang Vannamei
2.1.1 Klasifikasi
Tata nama udang vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut
ilmu taksonomi adalah sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.1.2 Morfologi
Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan endopodite.
Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar
atau exoskeleton secara periodik (moulting).
Kepala (Chepalotorax) udang vannamei terdiri dari antenula, antena,
mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi
dengan tiga pasang maxiliped dan lima pasang kaki jalan (periopoda). Maxiliped sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Bentuk periopoda
beruas – ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada
yang berbentuk capit (kaki 1, 2, dan 3) dan tanpa capit kaki 4 dan 5.
Perut (abdomen) terdiri dari enam
ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki renang dan
sepasang uropoda (mirip ekor) yang berbentuk kipas
bersama-sama telson. Udang vannamei mempunyai carapace yang
transparan, sehingga warna dari perkembangan ovarinya jelas terlihat.
2.1.3 Habitat
Udang
vannamei hidup di habitat laut topis dimana suhu air biasanya lebih dari 20°C
sepanjang tahun dan akan menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau. Udang
vannamei dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva
udang vannamei akan bermigrasi ke pantai sampai pada stadia juvenil.
2.1.4 Tingkah
Laku
Udang vannamei bersifat nokturnal. Selain itu, udang vannamei juga tahan
terhadap kisaran salinitas tinggi dan salinitas rendah atau biasa disebut eurihalyn. Udang
vannamei akan memangsa sesamanya (kanibalisme) apabila dalam pemberian pakan
tidak tepat pada waktunya. Udang vannamei mempunyai sifat pemakan
lambat dan akan makan secara terus menerus. Makanan yang akan dimakannya dicari
dengan menggunakan organ sensornya.
Udang
vannamei merupakan hewan yang memakan segala jenis makanan (omnivor). Dalam
mengidentifikasi makanan, udang vannamei menggunakan sinyal kimiawi dengan
bantuan organ sensor atau bulu-bulu di bagian kepala. Udang vannamei akan
mengalami proses pergantian kulit (moulting) yang dipengaruhi oleh
tingkat jenis dan umur. Pada saat berumur muda, udang vannamei akan
melakukan moulting setiap hari, dan apabila umurnya semakin
tua siklus akan terjadi semakin lama. Nafsu makan akan turun 1 – 2 hari
sebelum moulting terjadi dan aktifitas udang vannamei akan
berhenti secara total. Proses moulting umumnya terjadi pada
malam hari.
Udang vannamei melakukan pembuahan dengan cara memasukan sperma lebih awal
ke dalam thelycum udang betina selama memijah sampai udang
jantan melakukan moulting. pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya
berwarna keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan
pada saat hari pemijahan. Setelah perkawinan, induk betina akan mengeluarkan
telur yang disebut dengan pemijahan (spawning). Perkawinan lebih
bersifat open thelycum, yaitu setelah gonad mengalami matang telur.
2.1.5 Siklus
Hidup
Perkembangan
Siklus hidup udang vannamei adalah dari pembuahan telur berkembang menjadi
naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang menjadi udang
dewasa. Udang dewasa memijah secara seksual di air laut dalam. Masuk
ke stadia larva, dari stadia naupli sampai pada stadia juvenil berpindah ke
perairan yang lebih dangkal dimana terdapat banyak vegetasi yang dapat
berfungsi sebagai tempat pemeliharaan. Setelah mencapai remaja, mereka kembali
ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus hidup berlanjut kembali.
2.1.6 Perkembangan Larva
Udang Vannamei
Naupli merupakan stadia paling awal pada stadia larva udang vannamei.
Kemudian berubah menjadi stadia zoea. Zoea merupakan stadia kedua pada larva
udang vannamei. Kemudian bermetamorfosa ke stadia mysis. Stadia mysis merupakan
stadia ketiga dari larva udang vannamei yang merupakan stadia terakhir pada
larva udang vannamei. Mysis mempunyai karakteristik menyerupai udang dewasa,
seperti bagian tubuh, mata, dan karakteristik ekornya. Stadia mysis akan
berakhir pada hari ke tiga atau hari keempat, dimana selanjutnya akan
bermetamorfosa menjadi post larva (PL). Pada PL 10 sudah terlihat seperti udang
dewasa.
Perkembangan larva udang vannamei setelah telur menetas adalah sebagai
berikut :
a. Stadia Naupli.
Pada stadia ini,
naupli berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih
memiliki cadangan makanan serupa kuning telur sehingga pada stadia ini benih
udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Dalam fase Naupli ini larva
mengalami
enam kali pergantian bentuk dengan tanda-tanda sebagai berikut ;
Nauplius
I : Bentuk
badan bulat telur dan mempunyai anggota badan tiga pasang
Nauplius
II : Pada ujung
antena pertama terdapat seta (rambut), yang satu panjang dan dua lainnya
pendek
Nauplius
III : Furcal dua buah
mulai jelas masing-masing dengan tiga duri(spine), tunas maxilla dan maxilliped
mulai tampak.
Nauplius
IV : Pada masing-masing
furcal terdapat empat buah duri, Exopoda pada antena kedua beruas-ruas.
Nauplius
V : Organ pada
bagian depan sudah tampak jelas disertai dengan tumbuhnya benjolan pada pangkal
maxilla.
Nauplius
VI : Perkembangan
bulu-bulu semakin sempurna dari duri pada furcal tumbuh makin panjang.
b. Stadia Zoea
Stadia
Zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam.
Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang
mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea
3, lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya
(mysis) sekitar 4-5 hari.
Fase zoea terdiri dari tingkatan-tingkatan yang
mempunyai tanda-tanda yang berbeda sesuai dengan perkembangan dari
tingkatannya, seperti diuraikan berikut ini :
Zoea I :
Bentuk badan pipih, carapace dan badan mulai nampak, maxilla pertama dan kedua
serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi. Proses mulai sempurna dan
alat pencernaan makanan nampak jelas.
Zoea II :
Mata bertangkai, pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra orbital
yang bercabang
Zoea III : Sepasang
uropoda yang bercabang dua (Biramus) mulai berkembang duri pada ruas-ruas perut
mulai tumbuh.
c. Stadia Mysis
Pada
stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah
terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada
stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran
larva sudah berkisar 3,50-4,80 mm.
Fase
ini mengalami tiga perubahan dengan tanda-tanda sebagai berikut :
Mysis I :
Bentuk badan sudah seperti udang dewasa, tetapi kaki renang (Pleopoda)
masih belum nampak.
Mysis II :
Tunas kaki renang mulai nampak nyata, belum beruas-ruas.
Mysis III :
Kaki renang bertambah panjang dan beruas-ruas.
d. Stadia Post Larva (PL)
Stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak seperti udang dewasa.
Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti
post larva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang mulai aktif bergerak lurus ke
depan.
2.2 Persyaratan Lokasi
Lokasi yang paling tepat untuk membangun hatchery pembenihan
udang vannamei adalah jauh dari kota dan lahan pertanian, serta muara
sungai. Hatchery harus jauh dari fasilitas produksi. Hatchery memerlukan
akses ke prasarana standar industri untuk mengoprasikan fasilitas yang ada. Air
tawar dan air laut yang masuk dan kemungkinan mengandung bahan pencemar harus
dimonitor sesuai dengan cara budidaya ikan yang baik
tempat yang tepat untuk mendirikan hatchery adalah tempat
yang berpasir dan berbatu dimana tempat tersebut bersih, bebas dari cemaran,
dan mempunyai kualitas air yang bagus setiap tahunnya. Tempat yang sering
terkena banjir dan berlumpur kurang tepat untuk dijadikan hatchery karena pada
waktu terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh. Selain itu, lokasi yang
tepat untuk mendirikan hatchery adalah tidak berdekatan dengan
muara sungai karena dapat menurunkan salinitas secara mendadak,
dimana hal tersebut sering terjadi pada waktu hujan lebat. Keuntungan dari lokasi hatchery yang
berpasir dan berbatu adalah kualitas air laut menjadi bagus dan secara relatif
mendekati garis pantai sehingga mengurangi kerugian pada instalasi pemipaan dan
kerugian pada pemompaan. Lokasi hatchery juga harus bebas dari
kontaminasi limbah pertanian dan limbah industri. Parameter kualitas air yang
tepat untuk kegiatan pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva
Parameter
|
Ukuran
|
Temperature
|
28 – 32°C
|
DO
|
> 5 ppm
|
CO2
|
< 20 ppm
|
pH
|
7 – 8.3
|
Salinitas
|
25 – 35 ppt
|
ammonia (NH3)
|
< 0.03 ppm
|
Nitrit (NO2)
|
< 1 ppm
|
Nitrat (NO3)
|
< 60 ppm
|
Hidrogen Sulfida (H2S)
|
< 2 ppb
|
Listrik
adalah salah satu yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan dan semua yang
mendukung sistem di hatchery. Walaupun beberapa pompa air laut dan
aerator dapat dijalankan secara langsung oleh generator, hatchery dapat
dioprasikan tanpa adanya suplai listrik. Bagaimanapun, lebih ekonomis apabila
dijalankan di area dimana sumber listrik dapak diakses.
Sebaiknya hatchery bertempat
di area dimana banyak petani udang beroperasi, jadi larva yang diproduksi dapat
dengan mudah dikirimkan dan disalurkan ke tambak. Pemilihan tempat untuk
pembangunan hatchery harus dapat diakses dari fasilitas
komunikasi dan transportasi.
2.3 Fasilitas Pemeliharaan larva
Fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan larva terbagi
menjadi dua, yaitu fasilitas pokok dan fasilitas pendukung yang secara prinsip
diperlukan untuk usaha pemeliharaan larva udang vannameii adalah sebagai
berikut :
a. Fasilitas Pokok
- Bak Filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral, pasir, arang, ijuk, dengan menggunakan waring sebagai pemisah komponen.
- Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas total bak pemeliharaan.
- Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.
- Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat dengan volume 20% - 40% dari bak larva.
- Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan volume 0,02 m3.
- Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah terkait.
- Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benur, dan pompa air tawar dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak atau sarana penyedia air yang kemampuannya setara dengan kapasitas di atas.
- Aerasi blower/hi blow, selang aerasi, batu aerasi.
b. Fasilitas Pendukung
- Peralatan lapangan: seser, saringan pembuangan air, kantong saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan, selang, saringan pakan, alat sipon, peralatan panen.
- Peralatan laboratorium: pengukur kualitas air (termometer, refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.
- Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan tersebut mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN.
2.4 Kegiatan Pemeliharaan Larva
2.4.1 Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva
Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya harus
dibersihkan dan diberi desinfektan. Bak dibersihkan menggunakan air
bersih dan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak. Hal
tersebut bertujuan untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak
pemeliharaan. Kemudian diberi desinfektan berupa hypochlorite sebanyak 20
– 30 ppm, dan dibilas menggunakan air bersih untuk menghilangkan sisa
dari chlorine, kemudian bak yang sudah dibersihkan dijemur. Bak
yang berada di luar ruangan dan bak yang berukuran kecil dapat disterilisasi
dengan cara penjemuran terhadap bak tersebut
Bak
yang akan digunakan untuk tempat pemeliharaan larva dibersihkan
menggunakan bleaching powder, kemudian dibilas menggunakan air
tawar dan dijemur selama 24 jam. Sebagian dari bak
pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya dilakukan pemasangan aerasi pada
beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak pemeliharaan larva digunakan untuk
siklus selanjutnya, bak harus dicuci menggunakan larutan Hydrocloric
Acid (HCl) kemudian dibilas menggunakan air tawar atau air laut.
Air
yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi desinfektan
berupa chlorindan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan
ke area pembenihan seperti hatchery, kultur plankton, artemia, dan
lain-lain. air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan di hatchery harus
difilter dan ditreatmen untuk mencegah masuknya organisme yang membawa penyakit
dan patogen yang terbawa oleh air. Air yang akan digunakan, biasanya diberi
desinfektan berupa chlorin. Kemudian air disaring menggunakan filter
bag dan terakhir didesinfektan kembali menggunakan sinar ultraviolet
(UV) atau ozon. air laut dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen menggunakan
EDTA sebanyak 10 ppm dan trefflan sebanyak 0,1 ppm.
2.4.2 Penebaran naupli
Naupli ditebar setelah persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai
dilakukan. Padat penebaran naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan
ukuran naupli yaitu 0,5 mm. naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan
harus mempunyai kualitas yang baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai
kualitas baik :
- Warna coklat orange
- Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari periode diam
- Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas patogen
- Respon terhadap rangsangan bersifat fototaktis positif
Kepadatan
larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit adalah 75 ekor
naupli per liter. naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva mempunyai
kepadatan 100 sampai dengan 150 ekor naupli per liter atau atau 100.000 sampai
dengan 150.000 ekor naupli per ton.
Penebaran
naupli dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu
yang terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak pemeliharaan larva, harus dilakukan
aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan berupa penyesuaian suhu dan salinitas
air terhadap naupli. Proses aklimatisasi ini dilakukan hingga menunjukan naupli
sudah dapat beradaptasi dengan media air dalam bak pemeliharaan larva.
2.4.3 Pengelolaan Pakan
a. Pakan Alami
Pakan alami yang diberikan kepada larva udang vannamei adalah fitoplankton
dan zooplankton. Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva
udang adalah Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, Chaetoceros calcitrans. Sedangkannauplius artemia merupakan zooplankton yang
banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan nauplius artemia banyak
mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang.
Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai
dari stadia zoea 1 sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena
pada stadia ini larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur
sebagai pensuplai makanan. pada stadia naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai cadangan
makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea larva
udang vannameii diberi makananskeletonema sp., chaetoceros sp.,
dan Thalassiosira.
Pemberian algae berupa Chaetoserros dan Thallasiosiosirra pada
stadia naupli diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak 80.000
sel/ml, pada stadia zoea 2 diberikan sebanyak 80.000 – 100.000 sel/ml, stadia zoea 3 – mysis 1 diberikan sebanyak 100.000
sel/ml, dan pada stadia mysis 2 - 3 diberikan sebanyak 80.000 sel/ml.
Dalam melakukan kultur artemia sebelumnya menentukan
banyaknya artemia yang dibutuhkan sebagai pakan larva, setelah itu dilakukan
kultur cyste artemia dengan menebarkan cyste artemia
dan memberikan aerasi yang kuat dalam tank kultur untuk mempercepat penetasan.
Setelah cyste menetas dilakukan pemisahan antara cangkang
artemia dengan naupli artemia, kemudian dilakukan pemanenan artemia
Pemberian pakan artemia dilakukan enam kali dalam satu
hari yaitu pada pukul 00.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00. Greece
dan Fox (2000), menyatakan bahwa naupli artemia yang baru menetas diberi aerasi
baru diberikan untuk larva. . Hal ini dilakukan agar naupli dalam
penampungan sementara tetap dalam kondisi hidup. Selanjutnya naupli artemia
diberikan menggunakan beacker glass dengan cara ditebarkan
secara merata.
b. Pakan Buatan
Kriteria pakan buatan yang berkualitas baik adalah sebagai berikut:
- Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan ikan
- Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut ikan
- Pakan mudah dicerna
- Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh
- Memilki rasa yang disukai ikan
- Kandungan abunya rendah
- Tingkat efektivitasnya tinggi
Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan
dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan
ukuran partikel sesuai dengan stadianya. Kadungan nutrisi pada pakan
buatan larva udang vannamei terdiri dari protein minimum 40 % dan lemak
maksimum 10 %. kandungan nutrisi pada pakan buatan larva udang vannamei
terdiri dari protein 28 – 30 %, lemak 6 – 8 %, serat (maksimal) 4 %, kelembaban
(maksimal) 11 %, kalsium (Ca) 1,5 – 2 %, dan fosfor (phosphorus) 1 – 1,5
%.
Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring menggunakan saringan
berukuran 10 – 80 mikron. Pakan diberikan sampai pada stadia zoea 3. Pada
stadia mysis Pakan buatan diberikan dengan cara disaring menggunakan saringan
berukuran 50 – 150 mikron, Pakan buatan yang diberikan pada stadia PL 1 – PL 8
sebelumnya disaring menggunakan saringan berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan
pada stadia PL 9 sampai dengan panen sebelumnya disaring menggunakan saringan
dengan ukuran 300 – 500 mikron. Ukuran partikel pakan buatan pada
tiap stadia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Ukuran Partikel Pakan Buatan Sesuai Stadia
No.
|
Stadia
|
Satuan
|
Ukuran
|
1.
|
Zoea
|
μm
|
50 – 100
|
2.
|
Mysis
|
μm
|
100 – 200
|
3.
|
Postlarva
|
μm
|
200 – 300
|
Frekuensi pemberian pakan dilakukan enam kali dalam satu hari, dilakukan
empat jam sekali dengan pemberian dilakukan secara berselang-seling antara
pakan alami dan pakan buatan. Pada pemberian pakan buatan, sebelumnya dilakukan
penyaringan, hal tersebut dimaksudkan agar pakan buatan yang tersaring sesuai
dengan bukaan mulut dari larva udang pada tiap stadia.
2.4.4 Pengelolaan
Kualitas Air
Untuk
menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva, harus dilakukan pengelolaan
air yang baik. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan penyiponan dan pergantian
air. Penyiponan pada dasar bak dilakukan pada saat larva masuk
stadia zoea 2 – 3 selama pemeliharaan larva. Sisa pakan yang tidak termakan dan
hasil metabolisme yang berupa feses dibuang dari dasar bak pada waktu – waktu
tertentu (penggunan probiotik akan mengurangi penyiponan). Jika
dalam dasar bak pemeliharaan sudah terlihat kelebihan endapan, buang endapan ke
dalam seser kemudian pindahkan muatan yang tersaring ke dalam ember.
Apabila pada saat proses penyiponan terdapat larva yang terbawa dari bak
pemeliharaan, larva dapat dimasukkan kembali ke dalam bak pemeliharaan.
Pergantian
air selama pemeliharaan larva perlu dilakukan tergantung dari kepadatan larva,
stadia larva, dan kondisi kualitas air pada bak pemeliharaan larva. Pergantian
air dilakukan untuk mempertahankan kondisi parameter kualitas air dalam bak
pemeliharaan agar tetap stabil. Air yang digunakan pada proses pergantian air,
harus mempunyai kualitas yang lebih baik dari air pemeliharaan yang ada dalam
bak. Air yang akan digunakan harus sama dengan temperatur, salinitas, dan
derajat keasaman (pH) untuk menghindari stress pada larva akibat dari perubahan
parameter secara mendadak.
Pada
umumnya bak pemeliharaan larva hanya diisi 50% dari kapasitas maksimal.
Kemudian selama stadia zoea, dilakukan penambahan secara berangsur-angsur
sekitar 10% per hari dari kapasitas maksimal air yang baru (termasuk jumlah
plankton yang digunakan) sampai bak terisi penuh dan dilakukan hingga mencapai
stadia mysis. Pada stadia zoea tidak dilakukan pergantian air. Pada waktu
masuk stadia mysis dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 30 % per hari. Pada
stadia awal larva, dilakukan pergantian air tetapi volume pergantian air lebih
besar daripada stadia sebelumnya,
pada PL 1 – 4 dilakukan pergantian
sebanyak 30 – 40% dan pada PL 5 – 8 dilakukan pergantian air sebanyak 40 – 50
%. Setelah stadia PL yang lebih besar perlu dilakukan pergantian air sebesar 50
– 80 % per hari pada PL 9 – 12
dan 60 – 90 %
per hari pada PL 13 – 16.
yang
berhubungan dengan parameter kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, dan DO
dilakukan pengecekan atau pengukuran dua kali dalam satu hari yaitu pada pagi
dan sore hari. Hal tersebut dilakukan karena pada waktu-waktu tersebut terjadi
fluktuasi parameter yang signifikan.
2.4.5 Monitoring Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol
pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan
pemberian pakan yang berkualitas. apabila pakan yang diberikan berkualitas
baik, jumlahnya mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat
dipastikan laju pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan.
Sedangkan untuk mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan
makroskopis dan mikroskopis antara lain yaitu :
a. Pengamatan Makroskopis
Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel
langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter becker glass kemudian
diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa
pakan kotoran atau feces dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.
b.
Pengamatan Mikroskopis
Dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di atas
gelas objek, kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk
mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, pathogen yang menyebabkan
larva terserang penyakit.
2.4.6 Pengendalian Penyakit
Pada usaha pemeliharan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei),
keberadaan penyakit merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan
penanganan secara khusus. Timbulnya penyakit dapat bersumber dari berbagai
aspek, seperti : air sebagai media pemeliharan, peralatan pemeliharaan,
pengaruh kontaminasi pakan, lingkungan, maupun sanitasi dari masing-masing
pelaksana produksi yang secara langsung berhubungan dengan aktifitas
pemeliharaan larva.
Menyatakan Vorticella merupakan
salah satu jenis protozoa yang menyerang larva dengan cara menempel pada
permukaan tubuh larva atau insang pada semua stadia dalam kegiatan pemeliharaan
larva udang vannamei. Ketika permukaan
tubuh, alat gerak, atau insang banyak terdapat vorticella, akan
menyulitkan larva dalam melakukan pergerakan, mensuplai makanan, moulting, dan
respirasi.
Penyakit
yang paling serius mempengaruhi stadia larva udang vannameii disebabkan
oleh jamur, vibrio, dan bakteria. Perlakuan terhadap larva sangat sulit dan
cukup mahal. Pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Agar penyebaran penyakit tidak terjadi, bak pemijahan
tidak berada pada satu tempat dengan bak pemeliharaan larva, orang yang
memijahkan harus diberi desinfektan, dan penyaring air laut jumlahnya harus
memadai. Pada umumnya penyakit bakterial dapat dihilangkan menggunakan erythromycin sebanyak
2 – 4 ppm, penyakit akibat jamur dapat dihilangkan menggunakan malachite
green sebanyak 0,0075 ppm dan infeksi akibat protozoa dapat
dihilangkan menggunakan formalin sebanyak 10
ppm apabila tingkat kematian larva terlihat lebih banyak, larva harus diamati
dengan cara mengambil beberapa ekor larva untuk dijadikan sampel agar dapat
diketahui penyebabnya. Apabila teridentifikasi terdapat penyakit yang menyerang
harus dilakukan treatmen. Treatmen dilakukan dengan cara pemberian trefflan,
antibiotik, dan EDTA.
2.5 Panen dan Pasca Panen
Pada
PL 21 – PL 25 merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pemanenan dari bak
pemeliharaan karena pada ukuran tersebut dapat dengan mudah dipelihara pada
tambak dan dapat dengan mudah untuk dikirim. Larva yang ada pada bak
pemeliharaan dipanen dengan cara mengurangi 1/3 air pada bak kemudian
dikumpulkan pada bag net yang ditempatkan pada ujung pipa
pembuangan. Metode ini cukup efisien untuk mmengumpulkan semua larva.
Pernyataan tersebut tidak sependapat dengan Wyban dan Sweeney (1991), yang menyatakan
normalnya pemanenan benur udang dilakukan pada saat mencapai stadia PL8 sampai
dengan PL10.
Benur
yang dipanen harus mempunyai kualitas yang baik. Ciri dari benur yang siap
untuk dipanen dan mempunyai kualitas yang baik adalah sebagai berikut :
- Mempunyai tubuh yang transparan dan usus tidak terputus.
- Gerakan berenang aktif dan melawan arus dan kepala enderung mengarah ke arah dasar.
- Kondisi tubuh setelah mencapai PL 10 organ tubuh sudah sempurna dan ekor mengembang, bebas virus.
- Respon terhadap rangsangan sangat responsif, benur akan melentik dengan adanya kejutan.
Postlarva
dapat ditampung dalam bak plastik, bak fiberglass, atau kanvas yang berukuran
500 – 1000 liter dan diberi aerasi. Suhu air dalam kantong plastik
diturunkan menggunakan es batu. Postlarva dengan kepadatan 200 – 500 per liter
dapat diangkut sampai 10 jam tanpa menimbulkan tingkat mortalitas yang
tinggi. selain itu, postlarva juga dapat diangkut menggunakan
kantong plastik tipe polyethylene yang diberi oksigen. Plastik
berukuran 60 x 40 cm diisi 6 – 8 liter air tawar dan air laut
kemudian masukkan 3000 – 5000 postlarva. Kepadatan jumlah larva dapat dikurangi
jika dilakukan pengiriman dalam waktu lama atau jarak jauh. Setelah kantong
plastik terikat kencang, tempatkan dalam styrofoam atau ember
plastik. Suhu diturunkan sekitar 22 – 25°C menggunakan es dan serbuk kayu pada
dasar, sisi, dan atas styrofoam. Postlarva akan bertahan lebih dari
12 jam selama pengiriman. kepadatan benur
dalam plastik packing pada stadia PL15 berkisar antara 500 –
1200 per liter tergantung dari ukuran benur dan lamanya waktu pengiriman. Dalam
plastik tersebut diberi karbon aktif sebagai pengikat amoniak selama proses
pendistribusian. Selain itu dilakukan pemberian HCl Buffer sebagai
penstabil pH dan naupli artemia sebanyak 15 – 20 ekor naupli per benur untuk
mencegah terjadinya kanibalisme selama proses pendistribusian.
DAFTAR PUSTAKA
Briggs, M, Simon Funge-Smith, Rohana Subasinghe, dan Michael Phillips.
2004. Introductions and Movement of Penaeus vannamei and Penaeus
stylirostris in Asia and The Pacific. FAO. Bangkok
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng. 2009. Budidaya Udang
Vannamei (Litopenaeus vannamei) Teknologi Ekstensif Plus. DKP Provinsi
Sulteng. Sulawesi Tengah
Edhy, W.A, Januar, P dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan
PT. Central Pertiwi Bahari. PT Central Pertiwi Bahari. Tulangbawang.
Elovaara, A.K. 2001. Shrimp Farming Manual : Practical Technology
for Intensive Shrimp Production. United States of America (USA)
Gurisna. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Haliman, R.W. dan Adijaya, S.D. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Harefa, Fa’ahakhododo. 2003. Pembudidayaan
Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Heryadi, D dan Sutadi, 1993. Back Yard Usaha Pembenihan Skala Rumah
Tangga. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kordi, K.M.G.H. 2010. Pakan Udang.
Akademia. Jakarta.
Kungvankij, P., L.B. Tiro, B.J. Pudarera, Jr., I.O. Potestas, K.G. Corre,
E. Borlongan, G.A. Talean, L.F. Bustilo, E.T. Tech, A. Unggui, T.E. Chua.
1985. Training Manual : Shrimp Hathery Design, Operation, and
Management. FAO. Bangkok
SNI 01-7252-2006. 2006. Benih Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Kelas Benih Sebar.
Soekartawi, S, A, J, Dellon dan B. Hardaker. 1986.
Ilmu Usaha Tani dan Peneletian Untuk Pengembangan Petani
Kecil. UI Press. Jakarta
Soleh, M. 2006. Biologi Udang Vannamei Litopenaeus vannamei.
BBPBAP Jepara. Jepara
Subaidah, S. dkk. 2006. Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei). Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo
Subaidah, Siti dan Pramudjo, Susetyo. 2008. Pembenihan Udang
Vaname. Balai Budidaya Air Payau Situbondo.
Treece, G.D, dan Fox, J.M. 2000. Design, Operation, and Training
Manual for an Intensive Culture Shrimp Hatchery. Texas University. Texas
Wardiningsih. 1999. Teknik Pembenihan
Udang. Universitas Terbuka. Jakarta
Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991. Intensive Shrimp Production
Technology. The Oceanic Institute. USA
Komentar
Posting Komentar