Tinjauan Pustaka Pembenihan Udang Vannamei

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


    2.1     Biologi Udang Vannamei
    2.1.1  Klasifikasi
      Tata nama udang vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut ilmu taksonomi adalah sebagai berikut :
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Kelas               : Crustacea     
Ordo                : Decapoda
Famili              : Penaeidae
Genus              : Litopenaeus
Spesies            : Litopenaeus vannamei

     2.1.2  Morfologi
         Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau exoskeleton secara periodik (moulting).
Kepala (Chepalotorax) udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxiliped dan lima pasang kaki jalan (periopoda). Maxiliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Bentuk periopoda beruas – ruas yang berujung di bagian dactylusDactylus ada yang berbentuk capit (kaki 1, 2, dan 3) dan tanpa capit kaki 4 dan 5.
Perut (abdomen) terdiri dari enam ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki renang dan sepasang uropoda (mirip ekor) yang berbentuk kipas bersama-sama telson. Udang vannamei mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari perkembangan ovarinya jelas terlihat.

    2.1.3  Habitat
          Udang vannamei hidup di habitat laut topis dimana suhu air biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun dan akan menghabiskan siklus hidupnya di muara air payau. Udang vannamei dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva udang vannamei akan bermigrasi ke pantai sampai pada stadia juvenil.

2.1.4  Tingkah Laku
       Udang vannamei bersifat nokturnal. Selain itu, udang vannamei juga tahan terhadap kisaran salinitas tinggi dan salinitas rendah atau biasa disebut eurihalyn. Udang vannamei akan memangsa sesamanya (kanibalisme) apabila dalam pemberian pakan tidak tepat pada waktunya. Udang vannamei mempunyai sifat pemakan lambat dan akan makan secara terus menerus. Makanan yang akan dimakannya dicari dengan menggunakan organ sensornya.
          Udang vannamei merupakan hewan yang memakan segala jenis makanan (omnivor). Dalam mengidentifikasi makanan, udang vannamei menggunakan sinyal kimiawi dengan bantuan organ sensor atau bulu-bulu di bagian kepala. Udang vannamei akan mengalami proses pergantian kulit (moulting) yang dipengaruhi oleh tingkat jenis dan umur. Pada saat berumur muda, udang vannamei akan melakukan moulting setiap hari, dan apabila umurnya semakin tua siklus akan terjadi semakin lama. Nafsu makan akan turun 1 – 2 hari sebelum moulting terjadi dan aktifitas udang vannamei akan berhenti secara total. Proses moulting umumnya terjadi pada malam hari.
          Udang vannamei melakukan pembuahan dengan cara memasukan sperma lebih awal ke dalam thelycum udang betina selama memijah sampai udang jantan melakukan moulting. pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat hari pemijahan. Setelah perkawinan, induk betina akan mengeluarkan telur yang disebut dengan pemijahan (spawning). Perkawinan lebih bersifat open thelycum, yaitu setelah gonad mengalami matang telur.

2.1.5 Siklus Hidup
         Perkembangan Siklus hidup udang vannamei adalah dari pembuahan telur berkembang menjadi naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang menjadi udang dewasa. Udang dewasa memijah secara seksual di air laut dalam.  Masuk ke stadia larva, dari stadia naupli sampai pada stadia juvenil berpindah ke perairan yang lebih dangkal dimana terdapat banyak vegetasi yang dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan. Setelah mencapai remaja, mereka kembali ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus hidup berlanjut kembali.

    2.1.6  Perkembangan Larva Udang Vannamei
      Naupli merupakan stadia paling awal pada stadia larva udang vannamei. Kemudian berubah menjadi stadia zoea. Zoea merupakan stadia kedua pada larva udang vannamei. Kemudian bermetamorfosa ke stadia mysis. Stadia mysis merupakan stadia ketiga dari larva udang vannamei yang merupakan stadia terakhir pada larva udang vannamei. Mysis mempunyai karakteristik menyerupai udang dewasa, seperti bagian tubuh, mata, dan karakteristik ekornya. Stadia mysis akan berakhir pada hari ke tiga atau hari keempat, dimana selanjutnya akan bermetamorfosa menjadi post larva (PL). Pada PL 10 sudah terlihat seperti udang dewasa.

          Perkembangan larva udang vannamei setelah telur menetas adalah sebagai berikut :
a.         Stadia Naupli.
Pada stadia ini, naupli berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan serupa kuning telur sehingga pada stadia ini benih udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Dalam fase Naupli ini larva mengalami enam kali pergantian bentuk dengan tanda-tanda sebagai berikut ;
Nauplius I           : Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan tiga   pasang
Nauplius II          : Pada ujung antena pertama terdapat seta (rambut), yang satu panjang dan dua lainnya pendek
Nauplius III         : Furcal dua buah mulai jelas masing-masing dengan tiga duri(spine), tunas maxilla dan maxilliped mulai tampak.
Nauplius IV         : Pada masing-masing furcal terdapat empat buah duri, Exopoda pada antena kedua beruas-ruas.
Nauplius V          : Organ pada bagian depan sudah tampak jelas disertai dengan tumbuhnya benjolan pada pangkal maxilla.
Nauplius VI         : Perkembangan bulu-bulu semakin sempurna dari duri pada furcal tumbuh makin panjang.

b.        Stadia Zoea
          Stadia Zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 3, lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4-5 hari.
          Fase zoea terdiri dari tingkatan-tingkatan yang mempunyai tanda-tanda yang berbeda sesuai dengan perkembangan dari tingkatannya, seperti diuraikan berikut ini :
Zoea  I       : Bentuk badan pipih, carapace dan badan mulai nampak, maxilla pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi. Proses mulai sempurna dan alat pencernaan makanan nampak jelas.
Zoea  II      : Mata bertangkai, pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri supra orbital yang bercabang
Zoea  III     : Sepasang uropoda yang bercabang dua (Biramus) mulai berkembang duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh.

c.          Stadia Mysis
          Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50-4,80 mm.
          Fase ini mengalami tiga perubahan dengan tanda-tanda sebagai berikut :
Mysis  I            : Bentuk badan sudah seperti udang dewasa, tetapi kaki renang (Pleopoda) masih belum nampak.
Mysis  II           : Tunas kaki renang mulai nampak nyata, belum beruas-ruas.
Mysis  III          : Kaki renang bertambah panjang dan beruas-ruas.

     d.      Stadia Post Larva (PL)
Stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti post larva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang mulai aktif bergerak lurus ke depan.

    2.2     Persyaratan Lokasi
Lokasi yang paling tepat untuk membangun hatchery pembenihan udang vannamei adalah jauh dari kota dan lahan pertanian, serta muara sungai. Hatchery harus jauh dari fasilitas produksi. Hatchery memerlukan akses ke prasarana standar industri untuk mengoprasikan fasilitas yang ada. Air tawar dan air laut yang masuk dan kemungkinan mengandung bahan pencemar harus dimonitor sesuai dengan cara budidaya ikan yang baik
tempat yang tepat untuk mendirikan hatchery adalah tempat yang berpasir dan berbatu dimana tempat tersebut bersih, bebas dari cemaran, dan mempunyai kualitas air yang bagus setiap tahunnya. Tempat yang sering terkena banjir dan berlumpur kurang tepat untuk dijadikan hatchery karena pada waktu terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh. Selain itu, lokasi yang tepat untuk mendirikan hatchery adalah tidak berdekatan dengan muara sungai  karena dapat menurunkan salinitas secara mendadak, dimana hal tersebut sering terjadi pada waktu hujan lebat. Keuntungan dari lokasi hatchery yang berpasir dan berbatu adalah kualitas air laut menjadi bagus dan secara relatif mendekati garis pantai sehingga mengurangi kerugian pada instalasi pemipaan dan kerugian pada pemompaan. Lokasi hatchery juga harus bebas dari kontaminasi limbah pertanian dan limbah industri. Parameter kualitas air yang tepat untuk kegiatan pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.  Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva
Parameter
Ukuran
Temperature
28 – 32°C
DO
> 5 ppm
CO2
< 20 ppm
pH
7 – 8.3
Salinitas
25 – 35 ppt
ammonia (NH3)
< 0.03 ppm
Nitrit (NO2)
< 1 ppm
Nitrat (NO3)
< 60 ppm
Hidrogen Sulfida (H2S)
< 2 ppb

          Listrik adalah salah satu yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan dan semua yang mendukung sistem di hatchery. Walaupun beberapa pompa air laut dan aerator dapat dijalankan secara langsung oleh generator, hatchery dapat dioprasikan tanpa adanya suplai listrik. Bagaimanapun, lebih ekonomis apabila dijalankan di area dimana sumber listrik dapak diakses.
          Sebaiknya hatchery bertempat di area dimana banyak petani udang beroperasi, jadi larva yang diproduksi dapat dengan mudah dikirimkan dan disalurkan ke tambak. Pemilihan tempat untuk pembangunan hatchery harus dapat diakses dari fasilitas komunikasi dan transportasi.

    2.3     Fasilitas Pemeliharaan larva
Fasilitas yang digunakan untuk  pemeliharaan larva terbagi menjadi dua, yaitu fasilitas pokok dan fasilitas pendukung yang secara prinsip diperlukan untuk usaha pemeliharaan larva udang vannameii adalah sebagai berikut :

a.    Fasilitas Pokok
  1. Bak Filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral, pasir, arang, ijuk, dengan menggunakan waring sebagai pemisah komponen.
  2. Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas total bak pemeliharaan.
  3. Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.
  4. Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat  dengan volume 20% - 40% dari bak larva.
  5. Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan volume 0,02 m3.
  6. Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah terkait.
  7. Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benur, dan pompa air tawar dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak atau sarana penyedia air yang kemampuannya setara dengan kapasitas di atas.
  8. Aerasi blower/hi blow, selang aerasi, batu aerasi.
b.    Fasilitas Pendukung
  1. Peralatan lapangan: seser, saringan pembuangan air, kantong saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan, selang, saringan pakan, alat sipon, peralatan panen.
  2. Peralatan laboratorium: pengukur kualitas air (termometer, refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.
  3. Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan tersebut mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN.
    2.4     Kegiatan Pemeliharaan Larva
    2.4.1  Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva
         Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya harus dibersihkan dan diberi desinfektan.  Bak dibersihkan menggunakan air bersih dan detergen dengan cara menyikat seluruh permukaan dinding bak. Hal tersebut bertujuan untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak pemeliharaan. Kemudian diberi desinfektan berupa hypochlorite sebanyak        20 – 30 ppm, dan dibilas menggunakan air bersih untuk menghilangkan sisa dari chlorine, kemudian bak yang sudah dibersihkan dijemur. Bak yang berada di luar ruangan dan bak yang berukuran kecil dapat disterilisasi dengan cara penjemuran terhadap bak tersebut
        Bak yang akan digunakan untuk tempat pemeliharaan larva dibersihkan menggunakan bleaching powder, kemudian dibilas menggunakan air tawar dan dijemur selama 24 jam.   Sebagian dari bak pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya dilakukan pemasangan aerasi pada beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak pemeliharaan larva digunakan untuk siklus selanjutnya, bak harus dicuci menggunakan larutan Hydrocloric Acid (HCl) kemudian dibilas menggunakan air tawar atau air laut.
         Air yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi desinfektan berupa chlorindan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan ke area pembenihan seperti hatchery, kultur plankton, artemia, dan lain-lain. air yang digunakan untuk kegiatan pembenihan di hatchery harus difilter dan ditreatmen untuk mencegah masuknya organisme yang membawa penyakit dan patogen yang terbawa oleh air. Air yang akan digunakan, biasanya diberi desinfektan berupa chlorin. Kemudian air disaring menggunakan filter bag dan terakhir didesinfektan kembali menggunakan sinar ultraviolet (UV) atau ozon. air laut dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen menggunakan EDTA sebanyak 10 ppm dan trefflan sebanyak 0,1 ppm.

    2.4.2  Penebaran naupli
      Naupli ditebar setelah persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai dilakukan. Padat penebaran naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan ukuran naupli yaitu 0,5 mm. naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan harus mempunyai kualitas yang baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai kualitas baik :
  • Warna coklat orange
  • Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari periode diam
  • Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas patogen
  • Respon terhadap rangsangan bersifat fototaktis positif

          Kepadatan larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit adalah 75 ekor naupli per liter. naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva mempunyai kepadatan 100 sampai dengan 150 ekor naupli per liter atau atau 100.000 sampai dengan 150.000 ekor naupli per ton.
          Penebaran naupli dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak pemeliharaan larva, harus dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan berupa penyesuaian suhu dan salinitas air terhadap naupli. Proses aklimatisasi ini dilakukan hingga menunjukan naupli sudah dapat beradaptasi dengan media air dalam bak pemeliharaan larva.

    2.4.3  Pengelolaan Pakan
     a.      Pakan Alami
Pakan alami yang diberikan kepada larva udang vannamei adalah fitoplankton dan zooplankton. Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva udang adalah Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, Chaetoceros calcitrans. Sedangkannauplius artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan nauplius artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang.  
Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai dari stadia zoea 1 sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. pada stadia naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai cadangan makanan berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea larva udang vannameii diberi makananskeletonema sp., chaetoceros sp., dan  Thalassiosira.
Pemberian algae berupa Chaetoserros dan Thallasiosiosirra pada stadia naupli diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak 80.000 sel/ml, pada stadia zoea 2 diberikan sebanyak      80.000 – 100.000 sel/ml, stadia zoea 3 – mysis 1 diberikan sebanyak 100.000 sel/ml, dan pada stadia mysis 2 - 3 diberikan sebanyak 80.000 sel/ml.
Dalam melakukan kultur artemia sebelumnya menentukan banyaknya artemia yang dibutuhkan sebagai pakan larva, setelah itu dilakukan kultur cyste artemia dengan menebarkan cyste artemia dan memberikan aerasi yang kuat dalam tank kultur untuk mempercepat penetasan. Setelah cyste menetas dilakukan pemisahan antara cangkang artemia dengan naupli artemia, kemudian dilakukan pemanenan artemia
Pemberian pakan artemia dilakukan enam kali dalam satu hari yaitu pada pukul 00.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00. Greece dan Fox (2000), menyatakan bahwa naupli artemia yang baru menetas diberi aerasi baru diberikan untuk larva. . Hal ini dilakukan agar naupli dalam penampungan sementara tetap dalam kondisi hidup. Selanjutnya naupli artemia diberikan menggunakan beacker glass dengan cara ditebarkan secara merata.

     b.      Pakan Buatan
              Kriteria pakan buatan yang berkualitas baik adalah sebagai berikut:
  • Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan ikan
  • Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut ikan
  • Pakan mudah dicerna 
  • Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh 
  • Memilki rasa yang disukai ikan
  • Kandungan abunya rendah
  • Tingkat efektivitasnya tinggi
Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya. Kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang vannamei terdiri dari protein minimum 40 % dan lemak maksimum 10 %. kandungan nutrisi pada pakan buatan larva udang vannamei terdiri dari protein 28 – 30 %, lemak 6 – 8 %, serat (maksimal) 4 %, kelembaban (maksimal) 11 %, kalsium (Ca) 1,5 – 2 %, dan fosfor (phosphorus) 1 – 1,5 %.
Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring menggunakan saringan berukuran 10 – 80 mikron. Pakan diberikan sampai pada stadia zoea 3. Pada stadia mysis Pakan buatan diberikan dengan cara disaring menggunakan saringan berukuran 50 – 150 mikron, Pakan buatan yang diberikan pada stadia PL 1 – PL 8 sebelumnya disaring menggunakan saringan berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan pada stadia PL 9 sampai dengan panen sebelumnya disaring menggunakan saringan dengan ukuran  300 – 500 mikron. Ukuran partikel pakan buatan pada tiap stadia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.  Ukuran Partikel Pakan Buatan Sesuai Stadia
No.
Stadia
Satuan
Ukuran
1.
Zoea
μm
50 – 100
2.
Mysis
μm
100 – 200
3.
Postlarva
μm
200 – 300
Frekuensi pemberian pakan dilakukan enam kali dalam satu hari, dilakukan empat jam sekali dengan pemberian dilakukan secara berselang-seling antara pakan alami dan pakan buatan. Pada pemberian pakan buatan, sebelumnya dilakukan penyaringan, hal tersebut dimaksudkan agar pakan buatan yang tersaring sesuai dengan bukaan mulut dari larva udang pada tiap stadia.
    
2.4.4    Pengelolaan Kualitas Air
         Untuk menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva, harus dilakukan pengelolaan air yang baik. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air.  Penyiponan pada dasar bak dilakukan pada saat larva masuk stadia zoea 2 – 3 selama pemeliharaan larva. Sisa pakan yang tidak termakan dan hasil metabolisme yang berupa feses dibuang dari dasar bak pada waktu – waktu tertentu (penggunan probiotik akan mengurangi penyiponan).  Jika dalam dasar bak pemeliharaan sudah terlihat kelebihan endapan, buang endapan ke dalam seser kemudian pindahkan  muatan yang tersaring ke dalam ember. Apabila pada saat proses penyiponan terdapat larva yang terbawa dari bak pemeliharaan, larva dapat dimasukkan kembali ke dalam bak pemeliharaan.
          Pergantian air selama pemeliharaan larva perlu dilakukan tergantung dari kepadatan larva, stadia larva, dan kondisi kualitas air pada bak pemeliharaan larva. Pergantian air dilakukan untuk mempertahankan kondisi parameter kualitas air dalam bak pemeliharaan agar tetap stabil. Air yang digunakan pada proses pergantian air, harus mempunyai kualitas yang lebih baik dari air pemeliharaan yang ada dalam bak. Air yang akan digunakan harus sama dengan temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (pH) untuk menghindari stress pada larva akibat dari perubahan parameter secara mendadak.
          Pada umumnya bak pemeliharaan larva hanya diisi 50% dari kapasitas maksimal. Kemudian selama stadia zoea, dilakukan penambahan secara berangsur-angsur sekitar 10% per hari dari kapasitas maksimal air yang baru (termasuk jumlah plankton yang digunakan) sampai bak terisi penuh dan dilakukan hingga mencapai stadia mysis. Pada stadia zoea tidak dilakukan pergantian air. Pada waktu masuk stadia mysis dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 30 % per hari. Pada stadia awal larva, dilakukan pergantian air tetapi volume pergantian air lebih besar daripada stadia sebelumnya, pada       PL 1 – 4 dilakukan pergantian sebanyak 30 – 40% dan pada PL 5 – 8 dilakukan pergantian air sebanyak 40 – 50 %. Setelah stadia PL yang lebih besar perlu dilakukan pergantian air sebesar 50 – 80 % per hari pada PL 9 – 12 dan 60 – 90 % per hari pada PL 13 – 16.
          yang berhubungan dengan parameter kualitas air seperti suhu, salinitas, pH, dan DO dilakukan pengecekan atau pengukuran dua kali dalam satu hari yaitu pada pagi dan sore hari. Hal tersebut dilakukan karena pada waktu-waktu tersebut terjadi fluktuasi parameter yang signifikan.

2.4.5    Monitoring Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan pemberian pakan yang berkualitas. apabila pakan yang diberikan berkualitas baik, jumlahnya mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat dipastikan laju pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan mikroskopis antara lain yaitu :
a.     Pengamatan Makroskopis
Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter becker glass kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa pakan kotoran atau feces dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.
b.      Pengamatan Mikroskopis
Dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di atas gelas objek, kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, pathogen yang menyebabkan larva terserang penyakit.

     2.4.6  Pengendalian Penyakit
        Pada usaha pemeliharan larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei), keberadaan penyakit merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan secara khusus. Timbulnya penyakit dapat bersumber dari berbagai aspek, seperti : air sebagai media pemeliharan, peralatan pemeliharaan, pengaruh kontaminasi pakan, lingkungan, maupun sanitasi dari masing-masing pelaksana produksi yang secara langsung berhubungan dengan aktifitas pemeliharaan larva.
          Menyatakan Vorticella merupakan salah satu jenis protozoa yang menyerang larva dengan cara menempel pada permukaan tubuh larva atau insang pada semua stadia dalam kegiatan pemeliharaan larva udang vannamei. Ketika permukaan tubuh, alat gerak, atau insang banyak terdapat vorticella, akan menyulitkan larva dalam melakukan pergerakan, mensuplai makanan, moulting, dan respirasi.
        Penyakit yang paling serius mempengaruhi stadia larva udang vannameii  disebabkan oleh jamur, vibrio, dan bakteria. Perlakuan terhadap larva sangat sulit dan cukup mahal. Pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Agar penyebaran penyakit tidak terjadi, bak pemijahan tidak berada pada satu tempat dengan bak pemeliharaan larva, orang yang memijahkan harus diberi desinfektan, dan penyaring air laut jumlahnya harus memadai. Pada umumnya penyakit bakterial dapat dihilangkan menggunakan erythromycin sebanyak 2 – 4 ppm, penyakit akibat jamur dapat dihilangkan menggunakan malachite green sebanyak 0,0075 ppm dan infeksi akibat protozoa dapat dihilangkan menggunakan formalin sebanyak 10 ppm apabila tingkat kematian larva terlihat lebih banyak, larva harus diamati dengan cara mengambil beberapa ekor larva untuk dijadikan sampel agar dapat diketahui penyebabnya. Apabila teridentifikasi terdapat penyakit yang menyerang harus dilakukan treatmen. Treatmen dilakukan dengan cara pemberian trefflan, antibiotik, dan EDTA.

    2.5     Panen dan Pasca Panen
     Pada PL 21 – PL 25 merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pemanenan dari bak pemeliharaan karena pada ukuran tersebut dapat dengan mudah dipelihara pada tambak dan dapat dengan mudah untuk dikirim. Larva yang ada pada bak pemeliharaan dipanen dengan cara mengurangi 1/3 air pada bak kemudian dikumpulkan pada bag net yang ditempatkan pada ujung pipa pembuangan. Metode ini cukup efisien untuk mmengumpulkan semua larva. Pernyataan tersebut tidak sependapat dengan Wyban dan Sweeney (1991), yang menyatakan normalnya pemanenan benur udang dilakukan pada saat mencapai stadia PL8 sampai dengan PL10.
          Benur yang dipanen harus mempunyai kualitas yang baik. Ciri dari benur yang siap untuk dipanen dan mempunyai kualitas yang baik adalah sebagai berikut :
  1. Mempunyai tubuh yang transparan dan usus tidak terputus.
  2. Gerakan berenang aktif dan melawan arus dan kepala enderung mengarah ke arah dasar.
  3. Kondisi tubuh setelah mencapai PL 10 organ tubuh sudah sempurna dan ekor mengembang, bebas virus.
  4. Respon terhadap rangsangan sangat responsif, benur akan melentik dengan adanya kejutan.

          Postlarva dapat ditampung dalam bak plastik, bak fiberglass, atau kanvas yang berukuran 500 – 1000 liter dan diberi aerasi.  Suhu air dalam kantong plastik diturunkan menggunakan es batu. Postlarva dengan kepadatan 200 – 500 per liter dapat diangkut sampai 10 jam tanpa menimbulkan tingkat mortalitas yang tinggi.  selain itu, postlarva juga dapat diangkut menggunakan kantong plastik tipe polyethylene yang diberi oksigen. Plastik berukuran 60 x 40 cm diisi   6 – 8 liter air tawar dan air laut kemudian masukkan 3000 – 5000 postlarva. Kepadatan jumlah larva dapat dikurangi jika dilakukan pengiriman dalam waktu lama atau jarak jauh. Setelah kantong plastik terikat kencang, tempatkan dalam styrofoam atau ember plastik. Suhu diturunkan sekitar 22 – 25°C menggunakan es dan serbuk kayu pada dasar, sisi, dan atas styrofoam. Postlarva akan bertahan lebih dari 12 jam selama pengiriman. kepadatan benur dalam plastik packing pada stadia PL15 berkisar antara 500 – 1200 per liter tergantung dari ukuran benur dan lamanya waktu pengiriman. Dalam plastik tersebut diberi karbon aktif sebagai pengikat amoniak selama proses pendistribusian. Selain itu dilakukan pemberian HCl Buffer sebagai penstabil pH dan naupli artemia sebanyak 15 – 20 ekor naupli per benur untuk mencegah terjadinya kanibalisme selama proses pendistribusian.


DAFTAR PUSTAKA
Briggs, M, Simon Funge-Smith, Rohana Subasinghe, dan Michael Phillips. 2004. Introductions and Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. FAO. Bangkok
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng. 2009. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Teknologi Ekstensif Plus. DKP Provinsi Sulteng. Sulawesi Tengah
Edhy, W.A, Januar, P dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. PT Central Pertiwi Bahari. Tulangbawang.
Elovaara, A.K. 2001. Shrimp Farming Manual : Practical Technology for Intensive Shrimp Production. United States of America (USA)
Gurisna. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Haliman, R.W. dan Adijaya, S.D. 2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Harefa, Fa’ahakhododo. 2003. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Heryadi, D dan Sutadi, 1993. Back Yard Usaha Pembenihan Skala Rumah Tangga. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kordi, K.M.G.H. 2010. Pakan Udang. Akademia. Jakarta.
Kungvankij, P., L.B. Tiro, B.J. Pudarera, Jr., I.O. Potestas, K.G. Corre, E. Borlongan, G.A. Talean, L.F. Bustilo, E.T. Tech, A. Unggui, T.E. Chua. 1985. Training Manual : Shrimp Hathery Design, Operation, and Management. FAO. Bangkok
SNI 01-7252-2006. 2006. Benih Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kelas Benih Sebar.
Soekartawi, S, A, J, Dellon dan B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Peneletian  Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta
Soleh, M. 2006. Biologi Udang Vannamei Litopenaeus vannamei. BBPBAP Jepara. Jepara
Subaidah, S. dkk. 2006. Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo
Subaidah, Siti dan Pramudjo, Susetyo. 2008. Pembenihan Udang Vaname. Balai Budidaya Air Payau Situbondo.
Treece, G.D, dan Fox, J.M. 2000. Design, Operation, and Training Manual for an Intensive Culture Shrimp Hatchery. Texas University. Texas
Wardiningsih. 1999. Teknik Pembenihan Udang. Universitas Terbuka. Jakarta

Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute. USA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adopsi Difusi dan Inovasi

Pembahasan Pembenihan Udang Vannamei